Jumat, 21 November 2008

King Crimson Gila-Gila an Dalam Eksperimen...






Aku mengenal King Crimson sejak tahun 1987. Ceritanya aku tengah keluyuran ke studio Radio Jatayu yang saat itu baru saja pindah alamat dari Jalan Rejomulyo ke Jalan Veteran Kav 1 Semarang, sekaligus pindah gelombang AM ke FM. Pas aku tengah masuk ke ruang diskotik, aku melihat kaset manca prod Yess teryata album milik King Crimson yang berjudul Starless And Bible Black. Waktu itu belum pernah denger lagunya. Namun pada saat duduk di bangku SMA, aku beli kaset slow rock yang di dalamnya ada satu lagu milik King Crimson judulnya "Epitaph". Mendengar musiknya ternyata dipenuhi oleh suara melotron sehingga terkesan klasik apalagi melodinya juga manis. Aku baru tahu kalau King Crimson menjadi cikal bakal lahirnya Emerson Lake Palmer (ELP). Maksudnya salah satu personelnya, Greg Lake yang memainkan bass/ vokal kemudian hijrah ke ELP berkolaborasi dengan Keith Emerson dari The Nice dan Carl Palmer dari Atomic Rooster. Lama aku nggak begitu memperhatikan mereka hingga akhirnya pada tahun 1996, saat kuliah tingkat akhir, di sebuah pasar kaset tua aku mendapatkan kaset The Best Of King Crimson prod Yess. Lagu-lagu yang terkumpul di dalamnya adalah kumpulan dari album In The Court Of Crimson King (1969) hingga Starless And Bible Black (1974). Mendengar lagu "In The Wake Of Poseidon" yang dirilis tahun 1970, terasa kental sekali warna dari album pertama tepatnya pada lagu "In The Court Of Crimson King", yaitu dipenuhi dengan sound melotron. Apalagi melodinya tak kalah manis. Saat denger lagu "Starless And Bible Black" yang condong ke bluess dan jazz funk up tempo di bagian jedanya, bikin aku ketagihan untuk terus dan terus mendengarnya. Hal yang sama terjadi pada lagu "Fallen Angle" dari album Red (1974). Beda ketika mendengar lagu " I Talk To The Wind" yang menghadirkan sound flute nan menyayat mengingatkan pada lagu-lagu milik Jethro Tull, atau Genesis era Peter Gabriel. Lagu tersebut dibawakan oleh sang vokals, Ian Mc Donald.
Perkenalanku dengan King Crimson berlanjut, ketika bekerja sebagai penyiar radio Lusiana Namberwan Semarang, aku menyimak rekaman kaset debut album mereka, In The Court Of Crimson King (1969) secara keseluruhan. Baru sekali mendengar albumnya, khususnya lagu "21'th Century Scizhoid Man" yang dimulai dengan suara efek mirip gelombang radio, lalu musiknya menghentak keras dalam bentuk scale gitar, dan bass yang mengingatkan lagu "In To The Fire" nya Deep Purple. Tetapi di bagian jeda terdapat sound alto sax dengan iringan jazz funk up tempo sampai unision yang sempat mempengaruhi lagu "Picture An At Exhibition" nya ELP. Belakangan aku mulai mengoleksi album-album mereka walau belum komplit. Kesimpulanku, King Crimson ternyata gila-gila an dalam mengeskplorasi dan bereksperimen dalam musiknya, jauh mengungguli Pink Floyd. Hingga kini aku masih menguber-uber kaset / CD album mereka.
Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo

Selasa, 21 Oktober 2008

Album Pop Indonesia Rasa The Police

Zona 80...??? Masih ada...!!! Begitulah jargon yang disampaikan dua presenter acara Zona 80 di salah satu televisi swasta nasional dan tayang setiap minggu malam pukul 22.00 - 23.00 WIB serta sabtu sore pukul 15.00 - 16.00 WIB. Mendengar nama Zona 80 dengan konsep musik era 80-an, aku jadi teringat masa remajaku atau menjelang remaja...ya antara duduk di bangku kelas V SD s/d kelas I SMP. Masih ABG. Pada masa itu begitu banyak musik pop dunia maupun Indonesia terpengaruh budaya new wave. Musik-musik pop dari british saat itu begitu merajai blantika panggung musik dunia ketimbang musik pop Amrik. Beda dengan sekarang yang banyak digempur musisi Amrik. Sementara musisi british yang menjadi idolaku menjadi minim. Nah, saat itu nama grup musik ska The Police dari Inggris benar-benar menjadi panutan remaja seusiaku termasuk band-band techno pop lainnya macam Duran Duran, Alphaville, A-ha, Arcadia (sempalan Duran Duran), Men At Work, Pet Shop Boys, dll. Namun anehnya di Indonesia, musisi yang menerapkan konsep musik techno pop belum begitu banyak bahkan bisa dibilang belum ada sama sekali. Konsep musik techno mungkin baru muncul di Indonesia menjelang penghujung tahun 1980-an tatkala Kla Project dan Superdigy nya Fariz RM-Eet Syachranie-Sony Subowo mencuat ke permukaan. Sementara pada pertengahan era 1980-an musisi Indonesia lebih terpengaruh kebesaran dan keagungan ska ala The Police. Musik ska nya The Police dengan musik ska era milenium jelas beda banget. Karena musik ska The Police memadukan antara elemen musik pop rock-reagge-new wave. Sedangkan musik ska era milenium (akhir era 1990-an) lebih banyak didominasi hard core. Jadi musik The Police menurutku lebih sederhana daripada musik ska era sesudahnya. Hanya mengandalkan tiga personel yaitu Sting (vokal/bass), Andy Summer (gitar), dan Stewart Copeland (drum/perkusi) mereka mampu menghasilkan musik ska yang penuh sensasi mulai dari album Outland's Du Amour (1978), Regatta de Blanc (1979), Zenyatta Mondata (1980), Ghost In The Machine (1981), Syncronicity (1983), dan Every Breath You Take - singel (1986). Musisi di Indonesia latah meniru gaya The Police dua tahun setelah mereka merilis album Zenyata Mondata. Seharusnya musisi kita sudah meniru The Police sejak tahun 1979/1980. Namun saat itu musisi kita tengah terbuai oleh musik pop khas Badai Band (Chrisye - Yockie -Eros Jarot) yang beraroma Genesis dan Yes dengan lirik beraroma bahasa perlambang. Saat Fariz RM membentuk grup musik Shympony yang beranggotakan dirinya sendiri pada bass dan lead vokal, Herman Geely Effendi (kibor), Eki Soekarno (drum), dan Jimi Pais (gitar) merilis album Trapesium (1982) dan melejitkan hits "Interlokal", mereka bisa dikatakan sebagai pengibar corak The Police di blantika musik pop Indonesia. Mau tahu buktinya? Coba dengarkan lagu "Sirkus Optik & Video Game" yang mirip dengan lagu "Spirit In The Material World". Walau berbeda temponya, irama, dan melodinya, namun bila disimak memang nyaris ada kemiripan. Lagu "Sirkus Optik & Video Game" temponya lebih up (cepat) sedangkan "Spirit In The Material World" berirama mid (sedang). Lagu "Sirkus..." iramanya condong ke semi pop rock terutama di bagian verse, itulah sebabnya ketukannya dibuat up. Sementara lagu "Spirit..." agak condong ke reagge. Namun kesamaannya saat masuk ke reffrain iramanya sama-sama condong ke semi pop rock. Lain halnya dengan trio Chrisye-Yockie Suryoprayogo-Eros Jarot yang comeback dengan album Resesi (1983). Tumben, Chrisye bersama Eros dan Yockie yang sebelumnya sukses menggarap album Badai Pasti Berlalu (1977) dengan lagu-lagu cinta, pada album Resesi termasuk dua album berikutnya yang merupakan trilogi album-album mereka bertiga (Metropolitan 1983 dan Nona 1984) malah menampilkan lagu-lagu dengan lirik sarat kritik sosial. Lirik-lirik karya Yockie dan Eros Jarot memang sarat kritik sosial misalnya tentang kegelisahan anak sekolah yang setelah lulus nggak mendapatkan apa-apa termasuk kerja (lagu "Lagi-Lagi di album Metropolitan, 1983), persoalan resesi ekonomi yang membuat rakyat berteriak dan remaja mengalami frustasi hingga mengkonsumsi cocain-morfin sejenisnya, orang tua banyak yang brooken home (lagu"Resesi" album Resesi, 1983), persoalan kehidupan di kota metropolitan yang penuh kesemrawutan (lagu "Metropolitan", 1983), atau kasus hilangnya anak kesayangan akibat pergaulan bebas yang nggak jelas (lagu "Berita Ironi" album Nona, 1984). Lirik dengan bahasa kritik sosial itu memang pas dengan karakter lagu-lagu ska yang dimainkan The Police. Namun aku menilai sisi pengaruh The Police pada musik mereka ada pada lagu "Resesi" yang dentaman bass nya Chrisye mirip dengan dentaman bass nya Sting pada lagu "Walking On The Moon" (album Regatta de Blanc, 1979)b atau lagu "Leni" dari album Resesi yang bit-bitnya termasuk petikan gitar Ian Antono pada lagu ini yang mirip dengan lagu "De Do Do Do De Da Da Da" album Zenyata Mondata (1980). Soal ini Chrisye mengakuinya dalam buku Sebuah Memoar Musikal (2007) bahwa dia sengaja mengikuti trend musik saat itu yang menggilai musik-musik The Police. Padahal sebenarnya Chrisye dan rekan-rekan musisi Pegangsaan / Badai band lainnya justru penggila band prog rock macam Genesis, Yes, ELP, dll. Pengaruh The Police terakhir melibas album milik Chrisye cs pada lagu "Nona". Iramanya mengingatkan pada lagu "Every Breath You Take". Nada-nada contra yang dinyanyikan Chrisye pada lagu "Nona" terutama di bag reffrain, memang setara dengan nada-nada contra dari Sting pada bagian reffrain lagu "Every Breath You Take" (album Syncronicity, 1983). Musisi Yockie Suryoprayogo kala disibukkan menggarap proyek musik dengan Chrisye dan Eros Jarot juga latah meniru The Police, tepatnya pada album Punk Eksklusif (1983). Lagu "Srikustinah" misalnya, iramanya condong ke pop reagge mencoba mengingatkan pada lagu "The Bed's Too Big Without You" nya The Police di album Regatta de Blanc (1979). Lagunya sendiri juga bukan lagu tema cinta, namun kisah sosok Srikustinah nan lugu, gadis desa yang nekat merantau ke kota metropolitan Jakarta yang penuh dekadensi dan kesemrawutan. Aroma The Police mempengaruhi pola musik pop Indonesi baru berangsur-angsur hilang di tahun 1985. Mungkin grup musik Wow yang saat itu minus Fariz RM merilis album Produk Jingga (1985). Lagu "Puber" ketara sekali bila mereka terpengaruh The Police terutama lagu "Don't Stand So Close To Me" dari album Zenyatta Mondata (1980). Tetapi para musisi kita bukannya meniru mentah-mentah The Police apalagi sampai menjiplak. Mereka mengolah dengan gaya sendiri. Itulah sebabnya musik pop Indonesia karya saat itu aku sebut sebagai musik pop Indonesia rasa The Police. Karena ada pengaruh The Police.
Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo



Kamis, 16 Oktober 2008

Alan Parson's Project Bikin Ketagihan

NAMA Alan Parson Project bagi generasi saat ini memang kurang dikenal. Generasi saat ini hanya mengenal Project Pop (grup lawak/vokal), P- Project (grup lawak/vokal), Padhayangan Project (grup lawak/vokal), atau Kla Project (grup musik pop yang tengah rehat). Bandingkan dengan generasiku yang pernah merasakan masa kanak-kanak di tahun 1970-an, remaja ABG tahun 1980-an, dan mahasiswa di tahun 1990-an, tentu mengenal nama grup musik Alan Parson Project. Sebenernya Alan Parson Project bukanlah grup musik seperti halnya The Beatles, The Rolling Stones, dll. Grup ini sebenernya merupakan proyek musik dengan personel mencapai lebih dari 10 orang ...mirip kesebelasan aja. Lantas siapa punggawa dari Alan Parson Project ini? Sudah pasti Alan Parson, seorang praktisi musik yang pernah menangani konser The Beatles di atas atap gedung Abbey Road Studio awal tahun 1969, dan menangani rekaman album Dark Side On The Moon nya Pink Floyd (1973) yang amat sangat legendaris itu. Alan yang orang Inggris bertemu dan ngobrol soal musik dengan musisi asal Skotlandia, Eric Woollson di studio Abbey Road - Inggris tahun 1974. Mereka sepakat membuat proyek musik bukan grup musik yang melibatkan beberapa musisi. Maka di proyek bernama Alan Parson Project inilah ada nama-nama seperti David Paton (bass/vokal), Stuart Eliot (drum/ perkusi), Ian Bairnson (akustik/elektrik gitar), Chris Rainbow (vokal), Lenny Zakatek (vokal), Collins Blunstone (vokal), Eric Woollson (kibor/ vokal), Alan Parson (kibor/programe), dll. Album yang telah diluncurkan adalah Tales Of Mistery And Imagination (1976), I Robot (1977), Piramyd (1978), Eve (1979), The Turn Of A Friendly Card (1980), Eye In The Sky (1982), Ammonia Avenue (1984), Vuluture Culture (1985), Stereotomy (1986), dan Gaudy (1987). Sayang, tahun 1990 nama mereka sudah nggak muncul lagi. Padahal materi lagu-lagu berikut musiknya cukup bagus. Konsep musik rock yang mereka sodorkan adalah memadukan antara musik pop rock progresif dengan string orkestra. Konon model musik semacam ini juga diterapkan oleh band asal Inggris pula, Electrick Light Orchestra (ELO) yang termasyur berkat hits "Telephone Line" (1974), "Last Train To London" (1979),"Don't Walk Away"(1980), dll. Sedangkan di Indonesia, musik semacam Alan Parson Project sepertinya diterapkan oleh Yovie & Nuno (dulu Yovie & The Nuno). Lihat saja di grup tersebut Yovie Widianto tak ubahnya seorang Alan Parson yang mengkonsep lagu-musik sampai menjadi komandannya. Selain itu tatanan musik Yovie & Nuno juga menampilkan pop sedikit beraksentuasi rock dengan sisipan suara string orchestra yang bersahut-sahutan. Ini dibuktikan dalam lagu "Indah Ku Ingat Dirimu" (2001), "Juwita"(2004), atau "Dia Milikku"(2008). Hebatnya lagi, lagu-lagu Yovie & Nuno tak kalah easy dengan lagu-lagu Alan Parson Project, walau nggak terkesan gampangan. Tetapi ada lagu-lagu milik Alan Parson Project yang sepertinya mempengaruhi gaya penulisan lagu-lagu pop Indonesia. Walau bukan masuk kategori menjiplak, karena masih dibawah 8 bar. Contoh lagu "The Turn Of A Friendly Card" yang memiliki kemiripan dengan verse lagu "Biarkanlah" milik Ita Purnamasari (1991) atau reffrain lagu "Eye In The Sky" yang amat sangat sedikit mirip dengan reffrain awal lagu "Teman Tapi Mesra" nya Ratu (2005). Bicara soal Alan Parson Project, aku sangat suka mendengarkan lagu "Damned If I Do" (album Eve, 1979), "The Turn Of A Friendly Card" (album The Turn Of A Friendly Card, 1980),"Games People Play" (album The Turn Of A Friendly Card, 1980), "Eye In The Sky" (album Eye In The Sky, 1982), "Old Wise" (album Eye In The Sky, 1982), "Ammonia Avenue" (album Ammonia Avenue, 1984), "Let's Talk About Me" dan "Days Numbers" dari album Vulture Culture (1985). Namun yang paling berkesan adalah lagu "The Turn Of A Friendly Card". Ceritanya pada bulan Desember 1980, untuk kali pertama aku nguping lagu kalem itu dari salah satu siaran radio swasta yang tengah memutar lagu-lagu pop manca di kota Yogya. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 2 SD, tetapi minatku terhadap musik dan lagu orang dewasa cukup tinggi. Beberapa lagu apik yang aku dengerin sepanjang tahun 1980 macam "Woman In Love" (Barbara Streisand/ Barry Gibb), "Don't Walk Away" (ELO), "Waterfals" (Paul Mc Cartney), "Don't Sleep Away This Night My Baby" dan "You Make My World So Collourfull" (keduanya dinyanyikan Daniel sahuleka), "Antonio Songs" (Michael Franks), "The Greatest Love Of All"(George Benson), "Song For You" (Chicago), "Woman" (John Lennon), dan tentu saja "The Turn Of A Friendly Card" nya Alan Parson Project. Namun saat itu aku belum tahu siapa penyanyinya lagu "The Turn Of A Friendly Card" tadi, bahkan judulnya saja belum tahu. Berbeda dengan lagu-lagu lainnya yang langsung tahu karena kebetulan kakakku punya kasetnya. Ironisnya aku baru tahun sepuluh tahun kemudian saat duduk di bangku SMA. Itupun info dari salah satu stasiun radio swasta yang kebetulan lagi muter lagu pop manca lama termasuk lagu milik Alan tadi. Semula aku mengira yang menyanyi adalah penyanyi/ grup dari China soalnya nada-nadanya mirip nada-nada lagu mandarin plus di belakangnya ada suara gong China yang mengingatkan pada ending lagu "Sakura" nya Fariz RM (versi album Sakura, 1980). Nah, ketika tahu judul lagunya dan penyanyinya, hari lain aku merequest lagu itu. Saat akan diputar aku sudah sedia kaset kosong buat merekam, karena mau cari kasetnya saat itu sudah susah banget. Ada compact disc nya, tetapi harganya mahal dan aku nggak punya duit buat beli lagipula saat itu belum punya CD player (sekarang sudah punya). Aku baru bisa dapat kasetnya produksi Billboard - Kings saat jalan-jalan di penjual kaset tua di Pasar Johar tahun 1996. Tak lama kemudian aku dapat kasetnya yang produksi Yess. Nah, kalau denger lagu "The Turn Of A Friendly Card" rasanya nagih pingin denger terus. Lagunya sederhana dan nggak kelihatan kalau musiknya slow rock tetapi justru slow pop. Pertama Ian Bairnson memetik-metik gitar nylon classicknya diiringi permainan piano dan kibor Eric sepanjang 2 bar. Kemudian vokal Chris Rainbow masuk melantunkan verse dan reffrain lagu itu. Stuart Eliot lalu mengisi bit-bit slow-mid tempo 16 bit ke dalam lagu itu. Sebenernya lagu "The Turn Of A Friendly Card" yang dirilis bulan November 1980 terdiri dari beberapa bagian yaitu "Snake Eyes", "The Ace Of Swords", "Nothing Left To Love", dan ditutup dengan "The Turn Of A Friendly Card pt 2". Susunan lagu yang dibagi dalam beberapa sub bagian memang sudah menjadi ciri khas band-band pengusung pop rock progresif. Bahkan tradisi itu sampai kini masih diusung oleh Dream Theatre atau Discus dari Indonesia. Sayang, seperti halnya Genesis, Yes, dan ELP, nama Alan Parson Project hanya disukai beberapa gelintir penikmat musik rock dan sudah bisa ditebak mereka yang suka lagu-lagu rumit. Padahal musik Alan Parson ...sendiri nggak terlalu rumit. Cuma denger namanya aja yang panjang dan nggak simple, orang jadi males denger lagunya, dan hanya mengenal namanya. Kalau lagu-lagu mereka yang bagus macam "Time", "Day Numbers", atau "Old Wise" termasuk "The Turn Of A Friendly Card" diputar di stasiun radio swasta...nah mereka baru bilang...nih lagu bagus banget. Siapa yang nyanyi? Alan Parson Project,...hah? Makanya jangan langsung memvonis mereka sebagai band dengan musik rumit.
Keep On Classic Rock...
Nugroho Wahyu Utomo



Senin, 13 Oktober 2008

SALAH MEMILIH PERSONEL?


Dalam sejarah karier sebuah grup band, kesalahan dalam memilih personel adalah hal wajar tetapi merupakan kisah menarik tersendiri. The Beatles misalnya, pernah memiliki drummer yang dianggap kurang mumpuni oleh George Martin, produser rekaman dari Parlophone (anak cabang perusahaan EMI di Inggris) ketika akan menerima band asal Liverpool ini rekaman. Tentu saja The Beatles harus memecat drummer bernama Pete Best itu dan menggantinya dengan Ringo Star dari grup Rory Storm & Huricane pada tahun 1963. Sejak saat itulah The Beatles seperti band yang habis "diruwat" (dalam Bahasa Jawa dan kepercayaan Jawa untuk membuang sial). Lucunya ketika The Beatles harus merelakan Ringo absent lantaran sakit amandel saat harus tour paruh tahun 1964, melibatkan sementara nama Jimmy Nicol. Kenyataannya Jimmy tetap disambut baik personel The Beatles dan kemampuannya menabuh drum menyamai Ringo. Setelah Ringo sembuh, posisi Jimmy digeser lagi oleh "yang bahurekso drummer The Beatles" yaitu Ringo itu tadi.
Lain halnya dengan The Police. Band pengusung ska dari Inggris ini mengaku mengalami masa-masa berat ketika masih melibatkan nama Henry Pandovani pada gitar. The Police memang didirikan oleh Sting (vokals/bass), Stewart Copeland (drum), dan Henry Pandovani (gitar) pada tahun 1976. Semula oleh Henry, arah musik The Police ingin dikemudikan ke arah musik punk daripada ska. Sedangkan Sting dan Stewart menginginkan musik punk yang tidak terlalu berat. Perbedaan selera musik inilah yang kemudian memicu konflik di dalam grup. Apalagi kemampuan Henry dalam memetik gitar, dipertanyakan oleh kedua rekannya. Merasa kurang sreg dengan gitarisnya, diam-diam Sting dan Stewart mencari gitaris pengganti lalu diperoleh nama Andy Summer, gitaris yang pernah mendukung rekaman grup Eric Burdon & The Animals. Usia Andy yang terpaut 10 tahun lebih tua daripada usia Sting dan Stewart, menjadikan dirinya lebih terhormat di The Police. Semenjak hadirnya Andy di The Police, Henry merasa kurang nyaman dan ujung-ujungnya gitaris kelahiran Korsika ini mengundurkan diri dari The Police. Pengunduran Henry dari The Police jelas membuat Sting dan Stewart senang dan sejak saat itulah The Police memulai sukses kariernya hingga bubar tahun 1984.
Sementara itu di grup musik Whitesnake, band hard rock dari Britania, sang vokals sekaligus komandan grup yang otoriter, David Coverdale pernah merasa salah memilih Ian Paice sebagai drummer grup di formasi pertama band itu tahun 1978. Setelah Deep Purple limbung tahun 1976, Coverdale berniat mendirikan band hard rock di luar Deep Purple yang telah membesarkan namanya. Vokals berambut kruel-kruel ini lalu menyertakan nama Jon Lord dan Ian Paice untuk mendukung proyek musiknya dengan nama Whitesnake. Namun kondisi itu menjadi runyam ketika Coverdale menilai ketukan drum Ian kurang memenuhi hasrat musikalnya. Sudah bisa ditebak, Ian lantas dipecat oleh Coverdale. Merasa rekannya diperlakukan tidak hormat oleh Coverdale, Jon pun latah memilih hengkang dari Whitesnake.
Beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1990, saat Deep Purple hendak memulai rekaman album Slaves Master, kebetulan Ian Gillan yang menjadi icon vokals Deep Purple tengah absent. Nama Joe Lyn Tunner dari grup Rainbow dan Yngwie Malmsteen dipilih menggantikan Ian Gillan yang tidak ikut reuni Deep Purple saat itu. Joe yang menjadi fans berat Purple merasa senang mendapat tawaran menjadi vokals band terbising di dunia itu. Namun setelah album itu dirilis dan dianggap kurang greget di pasaran, Joe dituduh menjadi biang keladi kegagalan itu. Karakter vokal Joe tidak mampu menghidupkan nyawa Purple. Artinya ia masih kalah kemampuan dengan vokals Purple sebelumnya macam Rod Evans, Ian Gillan, dan David Coverdale. Apa boleh buat, Joe lantas disingkirkan dari Deep Purple, dan Gillan balik lagi mendukung rekaman Purple pada album The Battle Rages On (1993). Padahal baliknya Gillan di Purple justru memicu konflik dengan Blackmore (gitaris) yang telah terjadi bertahun-tahun.
Genesis, biang art rock dari Inggris pernah pula keliru dalam memilih vokals. Setelah Phil Collins hengkang dari Genesis tahun 1996, Mike Rutherfod (bass/gitar), dan Tony Banks (kibor) harus susah payah mencari vokals baru pengganti Phil Collins. Mendapatkan vokals baru memang mudah terbukti dengan banyaknya lamaran yang masuk ke mereka. Namun memilih vokals yang lebih dari Peter Gabriel atau Phil Collins adalah tugas sangat berat. Sebelumnya Genesis pernah mengalami masa limbung ketika ditinggalkan Gabriel tahun 1975 usai menggelar show di Paris bulan Mei. Pasalnya dari ratusan pelamar yang masuk, tidak ada satupun yang karakternya menyamai atau mengungguli Gabriel. Akhirnya Phil Collins dilirik oleh Mike, Tony, dan Steve Hackett sebagai pengganti Gabriel. Ternyata pilihan Genesis terhadap Phil Collins tidak meleset. Terbukti Genesis mampu bertahan sukses hingga tahun 1992. Nah, kecelakaan itu terjadi ketika nama Ray Wilson menjadi pengganti Phil tahun 1996. Karakter vokal Ray memang berbeda dengan vokal Gabriel dan Phil. Mantan vokals grup Stiltsin ini lebih mengarah pada gaya vokal Tony Banks. Sehingga gaya perfomance Genesis saat menggarap album Calling All Station (1997) lebih beraroma Banks daripada Genesis. Bahkan mengingatkan pada gaya musik Bankstatement yang pernah didirikan Tony Banks tahun 1988. Saat itulah Genesis menyadari kesalahan memilih Ray Wilson sebagai vokals. Terbukti album Calling All Station jeblok di pasaran. Belum Ray kerap melakukan kesalahan dalam menyanyikan nomor-nomor lawas Genesis, padahal Ray mengaku penggemar berat band yang berdiri tahun 1967 itu. Kesalahan Ray dalam membawakan lagu-lagu Genesis bisa disimak dalam salah satu rekaman show mereka di Dublin tanggal 3 Agustus 1998. Apalagi gaya Ray di tayangan video itu terkesan kaku. Berbeda dengan Gabriel yang kerap tampil teatrikal atau Phil yang kerap melucu. Kasus ini berakhir dengan disingkirkannya Ray dari Genesis.
Grup musik Yes justru merasa bersalah dua kali dalam memilih personelnya. Pertama ketika Rick Wakeman, sang pemain kibor mengundurkan diri tahun 1973 usai merekam album Tale From Topographic Ocean. Posisinya lalu diisi Patrick Moraz. Rupanya kemampuan Moraz masih di bawah Wakeman. Merasa tidak nyaman di Yes, Moraz pun mundur. Wakeman balik lagi mendukung Yes dalam album Going For One (1977) dan Tormato (1978). Namun tak lama Wakeman mundur lagi dari Yes diikuti Jon Anderson (vokal). Nyawa grup Yes terancam. Sebagai langkah penyelamatan dipilihlah dua personel grup Buggles yang saat itu (tahun 1980) meluncurkan hits "Video Kill A Radio Star". Mereka adalah Trevor Horn (vokal) dan Geoff Downes (kibor) untuk mendukung proyek rekaman album Yes berjudul Drama tahun 1980. Hasilnya, mereka dianggap tidak mampu menghidupkan nyawa Yes, bahkan dianggap merusak performa Yes. Formasi ini pun bubar hingga Yes reuni lagi tahun 1983 dengan kembalinya Jon Anderson (vokal), Tony Kaye (kibor), dan gitaris baru asal Afsel, Trevor Rabin.
Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo


Jumat, 26 September 2008

Selamat Jalan Wright





Suatu malam di pertengahan bulan September yang Ramadhan, aku mendapatkan kabar menyedihkan via email prog rock. Wright, pemain kibor Pink Floyd wafat pada usia 65 tahun akibat kanker. Berarti Wright adalah personel kedua Pink Floyd yang telah wafat. Sebelumnya ketika Pink Floyd akan menuju puncak kemasyuran, telah kehilangan sang vokals/gitaris nya Keith "Syd" Barreth akibat over dosis. Posisinya lalu digantikan David Gilmour yang sebelumnya telah turut nimbrung dengan Pink Floyd. Kembali ke Wright atau biasa disapa Rick Wright. Dia adalah personel Pink Floyd dengan pembawaan cool, kalem. Beda dengan karakter Roger Water yang meledak-ledak-emosional, atau Gilmour yang terkesan sok pemimpin. Gaya permainan Wright bukanlah gaya yang mengandalkan permainan serba cepat dan klasik semacam Rick Wakeman (Yes) atau Keith Emerson (ELP). Namun dia banyak memberikan sound-sound yang nglangut serta efek-efek yang telah menjadi ciri wanci Pink Floyd sejak tahun 1967. Coba dengarkan bagaimana gaya permainannya tatkala memainkan komposisi "Echoes" dari album Midle (1971) atau "Breathe" (album Dark Side On The Moon, 1973). Mungkin yang menonjol adalah permainan kibornya pada lagu "Pig" di album Animal (1977) yang mirip dengan intro lagu "Sakura" nya Fariz RM. Ketika Wright ditendang dari Pink Floyd tahun 1979, nyawa musik Pink Floyd pada album The Wall (1979), Final Cut (1983), dan A Momentary Lapse Of Reason (1988) terasa ada yang hilang. Format bluess yang mendayu-dayu ala Gilmour yang kerap muncul di Pink Floyd sejak album Middle. Nah, ketika Wright balik lagi ke Pink Floyd tahun 1994 sampai wafat, musik Pink Floyd kembali bernyawa. Kini gigi Pink Floyd telah tanggal 2. Kalau Barreth ada yang menggantikan posisinya yaitu Gilmour, maka tak ada satupun yang mampu menggantikan Wright, terutama gaya permainannya yang mampu menyamainya. Selamat jalan Wright...
Keep On Classick Rock....
Nugroho Wahyu Utomo

Sabtu, 30 Agustus 2008

Nonton Fariz RM



Nama Fariz RM merupakan aset musik Indonesia yang nyaris terlupakan. Apalagi musisi jebolan Pegangsaan ini sempat terkena kasus narkoba. Fariz RM bisa disebut pula sebagai icon Classick Rock Indonesia meski sebagian besar orang menyebutnya sebagai penyanyi/musisi/komposer/arranjer musik Pop Indonesia. Tetapi coba dengarkan album Sakura yang dirilis tahun 1980, dan dengarkan pula lagu Sakura versi asli yang menghentak dalam irama pop rock funk bit up tempo. Denting piano yang merupakan scale dan intro dari lagu Sakura dengan gaya etnis Japanis, mencoba mengingatkanku pada intro lagu Pig milik Pink Floyd dari album Animal (1977)...(ingat blog berjudul Ini Pink Floyd bukan Fariz RM). Belum percaya kalau Fariz RM seorang rocker Indonesia? Coba simak bagaimana dia berupaya membangun grup band Simphony yang merilis tiga album dalam sejarah kariernya yaitu Trapesium (1982), Metal (1983), dan satu album Simphony yang beredar di tahun 1986 di bawah label Musicbox. Dalam kariernya di Simphony, Fariz(bass/vokal) bersama Herman Geely Effendi (kibor), Eki Sukarno (drum), Jimi Pais (gitar) dan Tony Wenas (kibor-khusus album Metal) menciptakan formula musik pop sedikit rock dengan aksen khas The Police, Asia, atau Genesis. Coba dengarkan lagu Sirkus Optic & Video Game yang mirip musiknya dengan lagu Spirit In The Material World dari album Ghost In The Machine (1981). Hentakan ska khas The Police terasa sekali pada lagu Sirkus Optic...itu. Atau lagu Kekal Itu Ada Di Sini (album Metal) dengan gaya swing rock mencoba mengingatkan pada lagu Time Again dari grup Asia (album Asia-1982). Sedangkan lagu instrumental Sepertigapuluhdua dari album Trapesium gaya permainan kibor Herman mengingatkan pada gaya musik Genesis. Ibaratnya Herman kerasukan roh Tony Banks dari Genesis. Itu baru di Simphony, kemudian di Wow, Fariz lagi-lagi menyuarakan musik rock yang tidak terlalu urakan dan terdengar gedongan. Grup musik Wow beranggotakan Darwin B Rahman, Iwan Majid, dan Fariz RM sendiri bahkan terkadang melibatkan nama Eet Syachranie pada gitar. Fariz turut terlibat bersama Wow hanya pada album Produk Hijau (1983) dan Rasio & Misteri (1990). Sementara album Produk Jingga (1985) Iwan Majid menjalankan Wow bersama Darwin, Ichal Indra, dan Musya Yunus hingga arah musik mereka terdengar melenceng ke The Police ketimbang Genesis. Berbeda dengan album Produk Hijau yang banyak mengadaptasi pola musik Genesis era transisi Peter Gabriel ke Phil Collins. Misalnya pada lagu Armagedon yang menampilkan gaya permainan kibor Iwan mirip gaya permainan kibor Tony Banks. Atau lagu Pekik Merdeka dan Merdekanya Orang Kota yang serupa tapi tak sama dengan lagu Behind The Lines-Duche's dari album Duke nya Genesis. Sayang, ketika nama Fariz semakin menjulang terutama setelah sukses dengan Barcelona atau sepulang dari negeri tsb, gaya musiknya cenderung ke corak latin jazz dan new age. Di sisi lain, rekan saya yang pengamat musik jazz sekaligus praktisi musik jazz menilai Fariz is not jazz musician. Padahal Fariz sudah berupaya menampilkan gaya latin jazz pada lagu Barcelona dan Sakura dengan melibatkan Philip Saminato perkusionis asing. Namun di mata saya Fariz tetaplah bagian dari legenda musik rock Indonesia karena pernah memainkan musik rock di tahun 1980-an dan bergabung dengan band rock besar di Indonesia yaitu Gank Pegangsaan. Dan untuk kali kedua di bulan Agustus 2008 tepatnya tanggal 9 lalu, saya senang bisa bertemu dengannya di acara Semarang Just Jazz di lantai 12 Hotel Horison Semarang.Keep On Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

Sabtu, 09 Agustus 2008

Asia-Band Berpersonel Dahsyat

Kalau ditanya nama grup band yang berisi musisi dahsyat dan berasal dari grup dahsyat pula, jawabannya adalah Asia. Grup musik Asia memang bukan berasal dari kawasan Asia, melainkan berisi musisi rock Inggris terdiri dari Geof Downes (kibor/ back vokal), John Wetton (bass/lead vokal), Steve Howe (gitar), dan Carl Palmer (drum/percussion). Lantas katanya mereka musisi dahsyat yang berasal dari grup band dahsyat? Betul, Steve Howe misalnya, siapa yang nggak kenal dengan gitaris yang (maaf) giginya tuti(metu setitik-keluar sedikit) ini? Dia adalah gitaris Yes bahkan bisa dibilang Steve Howe merupakan icon nya gitaris grup Yes walau Yes pernah merekut Peter Banks dan Trevor Rabin sebagai gitaris grup. Namun nama Howe lah yang turut menciptakan album muktahir Yes di awal tahun 1970-an macam Fragille (1971), Close To The Edge (1972), atau Tale From Topographic Ocean (1973). Howe sendiri sempat bertemu dengan gitaris seangkatannya dari band lain yaitu Steve Hacket (eks gitaris Genesis) pada tahun 1985 dan membentuk GTR. Gaya permainan Howe yang kerap menampilkan permainan klasik dan flamenco latin telah menjadi ciri khasnya di Yes termasuk petikannya yang mampu berunision dengan dentaman bass, kibor, serta drum. Ciri khas lain dari Howe adalah cara memainkannya yang cenderung mirip orang bergurau yaitu dengan meringis-ringis sambil memeluk bodi gitarnya. Ini bisa kita lihat dalam konser-konser Yes atau Asia. Nama berikutnya adalah Carl Palmer. Drummer bertubuh atletis ini merupakan mantan drummer grup Emerson Lake Palmer (ELP). Bila menyebut nama ELP, pasti tak akan pernah lupa dengan hits mereka "Cest La Vie" dari album Works 1 (1977), atau komposisi yang cukup panjang nan energik "Karn Evil No.9" dari album Brain Salad Surgery (1973). Sayang, keperkasaan ELP harus berakhir setelah merilis album Love Beach (1979). Carl Palmer yang pernah bermain di grup Atomic Roster tentu tak mau menjadi musisi pengangguran. Tawaran bergabung dengan grup Asia pun langsung diterimanya dengan welcome. Dan gaya permainan Palmer di Asia ternyata jauh lebih garang daripada di ELP. Seolah gaya musik ELP yang kolosal-progresif telah mengekang naluri permainannya yang gila. Dan naluri yang edan-edanan itulah ditunjukkan saat bermain di Asia, band yang musiknya jauh lebih nge pop progresif rock atau lebih sederhana daripada ELP. Gara-gara keasyikan di Asia, ketika ELP menggelar reuni tahun 1985, Palmer memilih absent dan posisinya diisi oleh Cozzy Powel, drummer yang tak kalah garang dan pernah bermain di Whitesnake, Rainbow, dll. Sementara itu Geof Downes merupakan mantan pemain kibor grup Yes untuk satu album Drama (1980). Gaya permainannya yang cepat dan klasik ternyata mampu mengimbangi gaya permainan kibor pendahulunya macam Tony Kaye, Rick wakeman, dan Patrick Moraz. Namun entah mengapa kehandalannya di Yes dianggap merusak tatanan musik Yes. Kebetulan Downes tidak bergabung dengan satu grup saja, ia bersama Trevor Horn (vokals Yes di album Drama) mengibarkan grup Bugles yang memainkan musik techno pop rock. Hits "Video Kill A Radio Star" merupakan komposisi yang sempat didaur ulang oleh grup band punk The President Of USA pada tahun 1995 dan menjadi video klip pertama yang ditayangkan MTV tahun 1981. Terakhir adalah John Wetton, pemain bass yang juga vokals ini sebenarnya bukan nama baru di kancah musik rock dunia. Hanya namanya kurang begitu di sorot sebelum menjadi frontman sekaligus pendentam bass grup Asia. Ternyata musisi bersuara tebal ini pernah bergabung dalam grup King Crimson dan Brian Ferry & Roxy Music. Di Asia, gaya permainan Wetton memang tidak begitu menonjol, karena ia lebih suka beraksi dengan vokalnya yang tebal. Asia mulai debutnya pada tahun 1982 lewat album Asia dengan hits yang cukup terkenal "Heat Of The Momment" berikut klipnya kerap ditayangkan di MTV. Bahkan komposisi "Time Again" yang berirama swing prog rock sempat mempengaruhi musikalitas band dalam negeri, SAS ketika membawakan lagu berjudul "Rudal" dari album Episode Jingga (1986). Gaya musik Asia juga masih terasa Yes terutama pada komposisi "One Step Looser", dimana gaya permainan gitar Howe mampu berunision dengan bit drum, dentaman bass, dan pencetan kibor dengan cepat. Album berikutnya Alpha (1983) bukannya membawa Asia menjadi lebih baik. Apalagi Howe sempat bertikai dengan Wetton mengenai arah musik Asia. Howe menginginkan beberapa lagu diisi dengan part-part gitar yang panjang, namun Wetton justru sebaliknya. Ujung-ujungnya Wetton mundur dari Asia dan saat konser tahun 1983 di Jepang (direkam dalam album Asia In Asia-1983), posisinya diisi oleh Greg Lake dari ELP. Greg hanya mengisi sesi show Asia, dan Wetton kembali ke Asia lagi. Sedangkan Howe memilih cabut dari Asia untuk bersolo karier sekaligus mengibarkan GTR bersama Steve Howe (eks Genesis). Posisi Howe kemudian diisi oleh Mandy Meyer dari Krokus ketika menggarap album Astra (1985). Begitulah formasi Asia terus berubah-ubah ketika merilis album, dan hanya Geof Downes yang menjadi dedengkot grup yang masih bertahan. Formula musiknya sendiri semakin ngepop dan ringan. Tak mudah mengembalikan Asia seperti ketika mereka dengan garang membawakan lagu "Time Again" atau "Go". Keep On Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

Rabu, 06 Agustus 2008

Mimpi Ketemu Phil Collins

Jalan Malioboro Jogjakarta merupakan kawasan yang menarik bagi para turis asing untuk sekedar jalan-jalan, atau belanja souvenir buatan dalam negeri untuk dibw ke negara asalnya. Nah, suatu siang aku baru saja turun dari KRD Prameks jurusan Solo-Jogja di Stasiun Tugu Jogja tak jauh dari Jalan Malioboro. Saat berjalan di Malioboro hendak mencari kaset-kaset indie itulah aku melihat sosok bapak berusia 50 tahunan berkacamata, kepala botak, bercelana pendek, mengenakan t-shirt sambil menenteng tas. Bapak bertubuh atletis itu memang turis yang tengah bercakap-cakap dengan Bahasa Inggris kepada para penjual souvenir. Perasaan aku pernah melihat sosok bapak berkebangsaan Inggris tadi, tapi siapa ya? Tak lama kemudian tiba-tiba mulutku langsung berteriak ...Phil Collins!!! Seluruh penjual, turis, dan orang-orang yang ada di Malioboro melihatku dengan muka heran setelah berteriak keras. Dan bapak tadi menoleh kepadaku sambil berkata...yes? Kemudian aku bertanya pada bapak tadi...are you Phil Collins from Genesis? Lantas bapak tersebut tersenyum sambil mengangguk...yes, what your name? "My name is Nugroho, Genesis fans from Semarang - Inodnesian," kataku dengan perasaan girang. Kemudian aku yang kebetulan membawa kamera meminta salah seorang penjual untuk memotretku bersama Phil Collins. Tiba-tiba aku terbangun dari tidurku di siang bolong. Walah...ternyata cuman mimpi, coba kalau beneran...seneng banget bisa ketemu Phil Collins sang icon Genesis. Kebetulan saat aku mimpi dalam tidur di siang bolong itu, tape di kamarku tengah memutar kaset Phil Collins yang baru saja aku beli judulnya Testify (2002) dan di dalamnya ada lagu lawas milik Leo Sayer "I Can't Stop Loving You" yang iramanya sengaja dibuat up tempo.
Keep On Classick Rock....
Nugroho Wahyu Utomo

Minggu, 03 Agustus 2008

Nguber Jurang Pemisah

Waktu aku masih berumur 9 tahun tepatnya tahun 1981, aku menyaksikan sebuah kaset album bertuliskan Jurang Pemisah dengan cover kaset bergambar sepatu ket putih belel. Di cover kaset tertulis nama musisi/ penyanyi terkenal : Chrisye dan Yockie Suryoprayogo. Di dalamnya ada nama-nama macam James F Sundah, Theodore K S sebagai penulis lagu. Lalu ada Ian Antono dan Teddy Sunjaya yang memainkan gitar dan drum (belakangan aku tahu kalau mereka bersama Yockie S adalah personel God Bless). Mendengar lagunya saja aku sudah merasa aneh tetapi tertarik. Anehnya karena dalam adonan musiknya disisipkan lagu "Gambang Suling" lengkap dengan ornamen musik etnis Jawa. Sedangkan yang menarik karena Chrisye membawakan lagu itu dengan gaya pop sementara musiknya melaju dalam adonan art rock khas Genesis, ELP, atau Yes.
Akhirnya aku jatuh hati dengan kaset album Jurang Pemisah walau saat itu masih duduk di bangku kelas III SD. Tahun 1984 aku masih sempat menyaksikan kaset album tersebut di rumah. Tetapi setelah itu kaset tersebut hilang entah kemana. Padahal saat itu aku sudah menjadi pengagum berat Chrisye. Kalau lihat Chrisye tampil di TV (TVRI waktu itu), wah seneng banget. Dia nyanyi sambil main gitar bass, di belakangnya nampak Yockie S, di barisan gitaris ada Ian Antono, dan drummernya Fariz RM (waktu itu tampil di acara Aneka Ria Safari, November 1983 membawakan lagu Romeo & Julia 83). Setelah tahun 1984, aku mencari-cari kaset Jurang Pemisah, tetapi nggak ketemu. Pencarianku semakin menggebu-gebu ketika James F Sundah merilis album kompilasi berisi karya-karyanya di tahun 1990 dan di album itu ada lagu "Jeritan Seberang" yang dibawakan oleh Amirroez (vokals El Pamas dan Dimensi). Lagu "Jeritan Seberang" adalah lagu pembuka dari album Jurang Pemisah yang kalau aku denger arransement musiknya nyaris mirip lagu "Seven Stones" nya Genesis (album Nursery Cryme-1971). Sayang, pencarianku tentang album Jurang Pemisah belum membuahkan hasil. Lima tahun kemudian tepatnya tahun 1995, aku merasa senang dengan hadirnya lagi album Jurang Pemisah yang diremaster oleh Aquarius. Tahun 2003 saat bertandang ke penjual kaset/ CD bekas di Pasar Johar, aku ditawari CD album Jurang Pemisah, tetapi aku tolak, lantaran aku belum punya playernya dan sudah punya kasetnya. Belakangan aku menyesal akan penolakan tersebut.
Menurutku album Jurang Pemisah merupakan produk rekaman art rock Chrisye bersama Yockie S yang cukup mumpuni musiknya dan kalau bisa tidak perlu di obrak-abrik ke corak musik lain seperti yang terjadi pada album Badai Pasti Berlalu. Coba lihat di toko-toko kaset/ CD, setelah album Badai Pasti Berlalu di racik ulang oleh Erwin Gutawa, akhirnya album Badai Pasti Berlalu versi asli yang digarap Eros Jarot, Chrisye, dan Yockie S di tahun 1977 sudah tidak nampak batang kasetnya lagi. Mungkin hanya bisa diperoleh di penjual kaset bekas. Ini sangat disayangkan. Apalagi Erwin Gutawa menggarap musiknya dengan formula yang ibaratnya mengunyah permen manis tetapi habis itu lewat sudah. Nggak bisa buat pendengarnya seperti aku ini menjadi ketagihan. Esensi musik prog rock/ art rock dari garapan musisi Pegangsaan menjadi hilang. Sehingga hanya ada pada vokalnya Chrisye. Itulah sebabnya mengapa aku menilai kalau album Badai Pasti Berlalu versi asli jauh lebih nagih ketimbang versi sesudahnya, dan berharap album Jurang Pemisah jangan diubah-ubah arransementnya seperti yang terjadi pada album Badai Pasti Berlalu. Mari kita selamatkan album Jurang Pemisah sebagai jejak emas peninggalan Chrisye dan torehan musik yang berkualitas ala Yockie S.
Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo


Rabu, 30 Juli 2008

Pergantian Vokals, Mengapa Tidak...?






Banyak yang menyebut album milik grup Yes berjudul Drama dan dirilis tahun 1980 sebagai album yang musiknya kehilangan unsur Yes nya. Sedemikian mudahnya orang khususnya pecinta musik prog rock/art rock bahwa album tersebut sudah kehilangan warna Yes nya. Dimanakah letaknya? Padahal bila menyimak lagu-lagu pada album ini masih terasa kental ciri khas Yes nya misalnya pada lagu "In To The Lens" yang banyak menyajikan unsur unision gitar/bass/kibor/drum sebagaimana ciri khas dari Yes sejak album Yes Album (1970) ...ingat dengan lagu "Your Is No Discarge". Bahkan warna vokal Trevor Horn yang menggantikan posisi Jon Anderson serta permainan kibor Geoff Downes yang menggantikan peran Rick Wakeman, masih tetap menjaga warna progresifitas musik Yes. Harmonisasi vokal Chris Square (bass/vokal) dengan vokal Trevor Horn tetap menciptakan kenangan masa lalu duet vokal Chris dengan Jon Anderson. Lantas dimanakah letak minggat nya corak Yes itu? Usut punya usut, hanya masalah pergantian vokals dan pemain kibor. Penggemar prog/art rock khususnya Yes tetap menuduh Trevor Horn dan Geoff Downes sebagai biang kerok hilangnya warna Yes. Kasus yang sama menimpa ketika posisi vokals Genesis dihibahkan dari Peter Gabriel ke Phil Collins mulai album A Trick Of The Tail (1976) atau vokals Marillion dari Fish ke Steve Hoggart sejak album Session End (1989). Sebegitu fanatiknya para pecinta musik prog/art rock kepada icon dari grup musik yang dikaguminya. Namun bila sejarah sebuah grup musik harus berjalan semacam itu, apa boleh buat. Ibaratnya inilah jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik yang kemungkinan terjadi pada sebuah grup band. Grup band macam Yes, Genesis, Marillion masih beruntung memiliki orang-orang yang masih mau menggerakkan band ini terus berjalan paska ditinggalkan sang bintangnya. Di dalam Yes ada Chris Square yang konsisten mengibarkan band yang didirikan di Inggris sejak tahun 1968 bersama Jon Anderson, atau di Genesis ada Tony Banks yang senasib sependeritaan ketika Genesis dilanda pasang-surut karena bongkar pasang personelnya. Mereka beruntung tidak seperti The Beatles atau Led Zeppelin yang memilih tutup buku ketika personelnya ada yang tanggal. Paul Mc Cartney memilih cabut hingga The Beatles berantakan tahun 1970, dan John Bonham tiba-tiba tewas yang memaksa Led Zeppelin mendarat dari panggung musik rock dunia tahun 1980.
Seharusnya para pecinta musik prog / art rock macam penggemar Yes, Genesis, atau Marillion belajar kepada para penggemar musik hard rock khususnya penggemar grup Deep Purple. Lihatlah bagaimana ketika posisi Ian Gillan yang lebih dikenal sebagai vokals Purple ketimbang pendahulunya Rod Evans, tiba-tiba terlibat konflik dengan Richie Blackmore (gitaris) dan memilih pergi dari Purple bersama pemain bass Roger Glover hingga akhirnya posisinya diisi vokals otoriter David Coverdale dan pemain bass Glen Hughes di tahun 1974. Toh, bukan karena album Burn dan komposisi Soldier Of Fortune yang meledak di tahun 1974, tetapi karena para personel baru Purple lebih cepat membuat para penggemarnya untuk tak berpaling pada mereka. Caranya? Dengan pola musik atau lagu yang tak kalah bagus dengan gaya musik atau lagu sebelumnya. Bahkan aksi panggung mereka mampu menyulut adrenalin penonton untuk menyanyi, berteriak, dan bergoyang.

Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo

Minggu, 13 Juli 2008

Mereka Perlu Diselamatkan

AKU mengenal nama Guruh Gipsy sebenarnya sejak tahun 1978. Saat itu aku melihat ada buku bergambar para musisi terkenal macam Chrisye, Keenan Nasution, Guruh Soekarno Putra, Abadi Soesman, dll. Dalam hati aku bertanya, siapa sih Guruh Gipsy itu? Seperti apa musiknya? Pada kover belakang ada para personel Guruh Gipsy mengenakan busana adat Bali tengah memainkan musik, tetapi formatnya lukisan beraliran realisme. Ketika aku mulai menyukai lagu-lagu Chrisye, aku menemukan buku itu lagi pada tahun 1984 secara tidak sengaja. Dari buku itu aku tahu kalau Chrisye lahir di Jakarta, 16 September 1949...tua banget ya? Lalu aku mengenal nama Oding Nasution, Roni Harahap yang ternyata adalah personel grup musik Cockpit Band, grup yang spesialis membawakan lagu-lagu milik grup Genesis. Oh...ternyata mereka suka Genesis, bagaimana dengan yang lain? Jawabannya baru aku peroleh lebih dari 15 tahun kemudian bahwa para personel Guruh Gipsy gandrung dengan musik prog rock era 70-an macam Genesis, Yes, ELP, dll. Bahkan lagu "Indonesia Mahardika" yang sangat panjang itu reffrainnya nyaris mirip "Picture At Exhibition" nya ELP (sebenarnya komposisi itu karya komponis musik klasik: Murugosky). Tetapi ketika aku tanyakan ke Roni Harahap usai menyaksikan penampilannya bersama Cockpit Band di Hotel Graha Santika (kini santika Premier) bulan Februari 2001 membawakan lagu-lagu Genesis, ternyata disanggah oleh pemain kibor berdarah Batak itu. "Kalau intronya kami ambil dari intro lagu "Just The Way I Like It" nya K C & The Sunshine Band," kata Roni Harahap.Saat itu aku lagi getol-getolnya nyari kaset Guruh Gipsy. Beruntung pada tahun 2004 aku berhasil mendapatkannya dengan harga murah, Rp 25.000,- lewat jasa seorang teman kolektor dari Jakarta, namanya Ivan. Setelah aku dengarkan, gila ...musiknya mampu menggabungkan musik prog rock ala Genesis, ELP, Yes dengan musik tradisional Bali. Konon kolaborasi ini diteruskan oleh God Bless pada album Cermin (1979) tepatnya pada lagu "Anak Adam" dan Gong 2000 dalam setiap albumnya. Namun semangat dan penyatuan musik Bali dengan prog rock Guruh Gipsy belum tertandingi oleh band manampun termasuk God Bless dan Gong 2000. Lagu "Geger Gelgel" ada pengaruh dari musik grup Yes terutama intro gitar dari Odink Nasution yang mirip dengan intro lagu "Heart Of Sunrise" nya Yes dari album Fragille (1971), atau bagian jeda lagu "Janger..." ada outro lagu "Watches Of The Skies" nya Genesis dari album Foxtrot (1972). Aku benar-benar terkagum-kagum bagaimana Guruh Gipsy mampu menggabungkan komposisi klasik karya Frederick Chopin berjudul "Fantasia Improptu" menjadi "Chopin Larung" dengan elemen musik Bali. Tarikan vokal Chrisye yang kolosal banget terasa pada lagu itu, termasuk pada lagu "Smaradhana" yang belakangan diubah dalam format pop hustle mid tempo di album Sabda Alam nya Chrisye (1978). Sayang, generasi sekarang banyak yang cuek beibeh dengan kerjakeras musisi rock era 70-an macam Guruh Gipsy. Hal itu wajar mengingat musik mereka agak rumit. Anyway, mereka juga perlu diselamatkan karya-karyanya agar bisa langgeng. Keep Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

1971 Tahun Sukses Musik Rock





Tahun 1971 menjadi tahun kejayaan musik rock. Beberapa grup band di Inggris mampu mencoretkan namanya di kancah musik rock dunia sebagai grup band mumpuni dengan gaya musiknya sendiri. Grup musik Led Zeppelin merilis album keempat dengan menonjolkan hits evergreennya: "Stairway To Heaven" dan "Black Dog". Saat itu band yang digawangi : Robert Plant (lead vokal), Jimi Page (gitar), Jon Paul Jones (bass), dan John Bonham (drum) memang tengah kenceng-kencengnya berkarya, setelah tiga album sebelumnya sukses di pasaran. Berkat lagu "Stairway To Heaven" nama Led Zeppelin seolah melesat lebih tinggi lagi dan lagu ini menjadi pujaan para umat claro (pecinta classick rock) termasuk diluar claro, karena dianggap sebagai lagu yang mampu mencolek indra pendengaran penikmat musik. Ibarat sebuah makanan, maka cara mengolahnya memang rumit, tetapi kita yang menikmati akan mengucapkan kalimat ...mak nyusss. Nah, itulah julukan yang pantas untuk "Stairway To Heaven" nya Led Zeppelin. Tidak cuma Led Zeppelin, di kubu hard rock masih ada Deep Purple yang meluncurkan album Fireball, dan album ini mampu menandingi album In Rock (1970) atau Concerto For The Group And Orchestra (1970), walau pada akhirnya kalah pamor dengan "Smoke On The Water" dari album Machine Head (1972). Namun nama Deep Purple mark 2 : Ian Gillan (vokal), Richie Blackmore (gitar), Roger Glover (bass), Jon Lord (kibor), dan Ian Paice (drum) merupakan formasi terbaik dan hingga kini belum ada yang menandingi keperkasaan dan kedahsyatan formasi itu. Sementara itu dari kubu art rock muncul Genesis yang baru saja memproklamirkan formasi keempat : Peter Gabriel (vokal/flute/tamborine/bass drum), Steve Hacket (gitar), Mike Rutherfod (bass/gitar), Tony Banks (kibor), dan Phil Collins (drum). Nama Steve Hacket dan Phil Collins, kelak yang membawa Genesis ke percaturan musik rock dunia, walaupun saat itu nama Genesis sudah dikenal berkat aksi teatrikal Gabriel di panggung. Apalagi dengan diluncurkannya album Nursery Cryme (1971), pola musik art rock Genesis jauh lebih terarah daripada pola musik art rock di album sebelumnya, Trespass (1970). Masih dari kubu art rock, grup musik Yes baru saja melibatkan nama pianis dan pemain kibor terbaiknya, Rick Wakeman setelah sebelumnya merangkul Steve Howe pada gitar. Album Fragile yang diluncurkan tahun 1971 semakin mempertegas Yes dalam tatanan musik art rock yang berbeda dengan gaya musik art rock Genesis. Mereka lebih mengandalkan harmonisasi vokal mirip koor misalnya pada komposisi "Roundabout" sebagai pengulangan dari harmonisasi vokal pada lagu "I've Seen Good A People" dari album Yes Album (1970). Terakhir dari lini musik psycadelick / prog rock adalah Pink Floyd yang menggeber album Middle dan memajang komposisi "Echoes" yang panjang. Suara efek yang nglangut pada bagian jeda lagu dan akhir lagu, seolah membawa kita yang menyimaknya terbawa melayang memasuki sebuah lubang yang penuh misteri. Seperti mengajak masuk ke dalam mesin waktu. Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo

Rabu, 09 Juli 2008

Kaset Genesis Pertama Yang Aku Beli


Tahun 1983 merupakan kecintaanku terhadap Genesis mulai muncul. Namun dari tahun 1983-1984 tak ada satupun kaset Genesis yang aku beli, pasalnya aku belum punya duit untuk beli kaset saat itu. Harga kaset barat saat itu terhitung murah, yaitu Rp 1750,- Rp 2000,-. Bandingkan dengan sekarang yang harganya mencapai Rp 25.000,- perkaset atau mungkin setelah BBM naik menjadi Rp 26.000,- s/d Rp 27.000,-. Pada tahun 1985 tepatnya bulan Juli aku merengek minta dibelikan kaset Genesis Live di toko kaset Mini Market Jalan Sultan Agung Semarang (kini sudah tutup). Harganya waktu itu terhitung murah, tetapi mana ada duit sebesar itu untuk beli kaset, apalagi uang sakuku Rp 100,-/hari. Akhirnya aku dibelikan kaset Genesis Live produksi Audio Master oleh kakakku. Aku nggak cuma terkesan dengan susunan lagunya :Side A:- I Just Job To Do - Follow You Follow Me - Turn It On Again - Behind The Lines - Duche's - Afterglow
Side B:- I Know What I Like - The Lambs Lies Down On Broadway - Squounk - Me & Sarah Jane - AbacabTetapi juga sampul kaset yang dipenuhi foto-foto konser Genesis tahun 1976-1982 yang yahoi. Kemudian aku mulai mencari kaset Genesis yang aa lagu "Dodo" seperti yang pernah dimuat dalam album Three Sides Live atau Abacab, soalnya aku suka musik funk bit slow yang ada pada lagu itu. Akhirnya pada bulan Januari 1986 aku berhasil mendapatkan kaset Genesis - Three Sides Live-Platinum Album 13 produksi Billboard. Itu saja aku nodong kakakku yang kebetulan belanja di Mini Market Jalan Sultan Agung Semarang. Namun akhirnya aku bisa beli kaset-kaset Genesis sendiri dari hasil jerih payahku mengumpulkan duit receh Rp 100,-/hari, lama-lama duitku jadi Rp 2.000,- s/d Rp 3.000,-. Kaset-kaset Genesis yang aku beli sendiri adalah Genesis 86 Invisible Touch (Aquarius), I'd Rather Be You (Ego Record), Invisiblelife (Hins Colection), Abacab (Polygram), Genesis (Polygram), From The Begening Until Now 3 (Team Record), Selling England By The Pound (Yess), We Can't Dance (Virgin), And Then There Were Three (Yess),Jesus He Knows Me (Virgin), Live-The Way We Walk 1 (Virgin), Live-The Way We Walk 2 (Virgin), From The Begining Until Now 6 (Team Record), From The Begining Until Now 7 (Team Record) The Best Of Genesis 1, 2, 3, 4, Genesis 83 (Aquarius), From The Begining Until Now 2 (Team Record), From The Begining Until Now 1( Team Record), Calling All Station (EMI/Virgin), Turn It On Again The Hits (EMI/ Virgin), Duke (Virgin), , Mama Tour (Aquarius), Genesis Live (Contessa). Oh ya untuk daftar kaset Genesis yang aku beli sendiri dari Genesis 86... s/d Invisiblelife..., aku beli dari hasil nabung duit Rp 100 perak/hari. Kemudian dari kaset Abacab...s/d From The Begining Until Now 3... aku beli dari hasil uang saku Rp 5000,- /bulan, Selling England ...s/d Live The Way We Walk 2...aku beli dari hasil membuka uang tabunganku hasil pemberian ortu dan kakak, From The Begining Until Now 6... s/d Genesis Live... dari hasil kerja. Tambahan keterangan lagi... untuk kaset From The Begining Until 3, 6, 7, 2, 1, The Best Of Genesis 1, 2, 3, 4, Genesis 83, Selling England By The Pound, And Then There Were Three, Mama Tour, Genesis Live... aku beli di pasar kaset tua di Pasar Johar Semarang dan Ngejaman Yogyakarta. Selain itu aku juga dapat pemberian kaset-kaset Genesis dari kakakku yang semuanya produksi Yess yaitu : The Lambs Lies Down On Broadway, Wind & Wuthering, Second Out 1, Second Out 2, Three Sides Live-Live & Studio, Three Sides Live-Live, Genesis, serta From Begining Until Now 10 (Team Record). Lengkap sudaj koleksi kaset-kasetku Genesis.
Keep On Classick Rock...
Nugroho Wahyu Utomo

Jumat, 04 Juli 2008

Menguber Deep Purple

Nama Deep Purple aku kenal sejak tahun 1985 pula, sama dengan band-band classick rock lainnya. Namun pada tahun tersebut aku belum bisa bersentuhan langsung dengan karya-karya Deep Purple, bahkan sejarah bandnya sendiri saja aku belum tahu. Gara-gara membaca Majalah Hai yang saat itu masih 70% mengulas musik (lain dengan sekarang yang full lifestyle anak sekolah), salah seorang pembaca (yang mungkin maniak Deep Purple) mencoba menanggapi tulisan band idolanya itu secara detail. Sampai si tukang protes itu bener-bener protes ketika dewa gitar Deep Purple is Richie Blackmore wajahnya (kalau nggak salah ingat) disamakan dengan seekor tikus...(itu baru penggemarnya yang marah, belum orangnya). Namun ketertarikanku dengan Deep Purple bukan lantaran protes tentang si Blackmore, melainkan kemegahan band itu sendiri yang ditunjukkan dalam gambar di majalah. Gaya mereka yang brutal, ini mesti band rock yang lebih ngerock daripada band rock lainnya. Artinya musik mereka jauh lebih keras daripada band rock yang aku kenal sebelumnya. Seberapa keras musik Deep Purple itu? Lagu Deep Purple yang pertama kali aku dengar adalah "Highway Star" yang aku dengerin secara iseng lewat headphone sebuah toko kaset Mini Market Jalan Sultan Agung (kini sudah tutup). Baru dengar intronya, wuihhh...gila man, dibuka dengan patern bass Roger Glover dan patern gitar dari Blackmore, disusul teriakan Ian Gilan yang melengking tinggi. Udah cuman satu lagu doang yang aku dengerin dari kaset The Best Of Deep Purple produksi Team Record pada tahun 1986. Kebetulan saat itu kakak kelasku di SMP N V lagi nyari album terbaru Deep Purple berjudul House Of Blue Light yang covernya bergambar pintu rumah bergaya gothic terbuka dikit. Tetapi apa yang dicari kakak kelasku itu hasilnya nihil, soalnya kasetnya belum beredar. Tahun 1988, saat duduk di bangku kelas 1 SMA, aku baru tahu kalau lagu "Sholdier Of Fortune" merupakan lagunya Deep Purple. Lagunya bluessy banget, dan sebelumnya saat duduk di TK aku sepertinya sudah pernah nguping lagu itu. Kemudian lagu "When A Blind Man Cries" yang lebih ngebluess juga pernah aku dengerin saat masih TK. Oooo....ternyata itu lagu-lagunya Deep Purple to? Kalau begitu, aku dari kanak-kanak secara tak langsung sudah nguping lagu-lagu Deep Purple dong? Ketika kaset-kaset barat harga Rp 2000 perak mulai ditarik dari peredaran tahun 1988, aku nyesel belum memiliki satu set kaset album Deep Purple. Bahkan sampai kini koleksi kaset Deep Purple ku masih loncat-loncat. Nggak percaya? Nih lihat koleksiku Deep Purple: Shades Of Deep Purple (1968), In Rock (1970), Fireball/Machine Head-Deep Purple-The Complate Story/Billboard (1971/1972), How Do We Think We Are (1973), Burn (1974), Strombringer (1974), Come Taste The Band (1976), Made In Europe (1976), Made In Japan (1976), Perfect Stranger (1984), House Of Blue Light (1986), Nobody's Perfect (1988), Slaves Of Master (1990), Deep Purple.....(1993), Abandone (1998), Deep Purple ....(2003), Friends Of Relatives (2000), CD MP3 Deep Purple. Paling senang kalau aku dengerin lagu "Child In Time" dari album In Rock yang diwarnai teriakan Gillan mirip Rhoma Irama (mungkin bang haji meniru Gillan ya?) dan unision gitar, bass, serta kibor dan drum dari para personel Purple saat akan masuk ke bagian jeda dan petikan gitar Blackmore lagi-lagi mengingatkanku pada petikan gitar bang Rhoma. Memang banyak lagu-lagu Rhoma Irama yang musiknya nyaris mirip dengan Deep Purple, hingga aku pun iseng di komputerku aku masukkan lagu-lagu Deep Purple dan folder untuk menyimpan lagu itu aku tulis : Soneta Grup Cabang Jerman....he he he he. Entar kalau ada file-file lagunya Rhoma Irama & Soneta maka foldernya aku tulis : Deep Purple cabang Jakarta...hi hi hi hi. Oh ya, Deep Purple itu pernah manggung di Indonesia, dan bisa jadi mereka aku sebut sebagai band rock legendaris yang pertama kali tampil di Indonesia. Mana nih band-band rock legendaris lainnya macam Black Sabbath, Queen with Paul Rogers, Yes, ELP, Led Zeppelin with Jason Bonham, The Police, apakah mau manggung di Indonesia?Keep On Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

Kamis, 03 Juli 2008

Salah Kaprah Soal The Rolling Stones

SALAH KAPRAH SOAL THE ROLLING STONES
Suatu malam di bulan Oktober 1983, aku membaca Majalah Hai yang didalamnya terdapat profil grup musik Journey, band rock asal Amrik. Pada Majalah Hai, Journey bertutur kisah mengenai tantangan yang harus dihadapi ketika sepanggung dengan grup musik legendaris The Rolling Stones di Amrik. Beruntung mereka tampil di negaranya sendiri, sehingga ketika tampil sebagai band pembuka band si dower Mick Jagger, Journey agak merasa canggung, namun penonton sangat antusias, hingga akhirnya penampilan mereka disambut hangat oleh penonton. Malahan ada Stones Mania (Penggemar The Rolling Stones) yang langsung jatuh hati kepada musik Journey. Dalam hati aku bertanya, siapakah The Rolling Stones itu? Saat itu pula aku juga membaca sebuah kartun di harian Suara Karya, ada dua orang tokoh kartun mencoba berlagak menjadi raja rock Mick Jagger. Siapa Mick Jagger itu? Ternyata ketika aku menyaksikan fotonya di Harian Kompas, si Mick Jagger tidak berdandan ala rocker yang kerap memamerkan tato di lengan, atau perhiasan ala metal di kostumnya. Penampilan Jagger ketika aku saksikan dengan kedua mataku adalah sosok rocker yang sederhana dengan t-shirt warna merah tua, dan celana jeans coklat muda ia bernyanyi penuh ekspresi. Hanya rambut mungkin yang mencerminkan dia sebagai sosok rocker ideal. Itu baru Jagger, belum The Rolling Stones. Aku masih mencari tahu apa itu grup The Rolling Stones. Tahun 1984, aku mendengarkan kaset Big Ten 2 produksi Billboard milik kakakku yang di dalamnya tertera nama The Rolling Stones disamping band-band besar lainnya macam Queen, Van Hallen, The Police, Yes, Genesis, Slade. Aku tunggu sampai terdengar satu lagu The Rolling Stones berjudul "She Was Hot" yang belakangan aku tahu di ambil dari album Undercover (1983). Rif-rif gitar yang dimainkan Keith Richard langsung membawaku ke alam musik rock n roll. Oh ternyata ini musiknya The Rolling Stones, rock n roll, ada soul bluessnya, dan disisipi sound ala Amerika khususnya corak country dalam permainan gitar Keith Richard. Vokal Jagger terbilang urakan menurutku, maka pantaslah bila orang-orang menyebutnya sebagai Raja Rock. Lantas apa julukan yang pantas bagi Dave Lee Roth ketika menjadi frontman Van Hallen? Padahal gaharnya vokal Roth dengan Jagger masih lebih gahar vokal Roth. Kebetulan di kelasku SD Pangudiluhur Yogya, punya teman seorang Stones Mania namanya Agung. Dia nggak cuma pecinta Jagger cs, tetapi juga jago breakdance. Sayang, aku nggak sempat tanya lebih jauh soal The Rolling Stones padanya. Ketika SMP rasa ingin tahuku terhadap The Rolling Stones makin menggebu. Apalagi kakakku di Yogya membeli kaset The Very Best Of The Rolling Stones produksi Audio Master pada tahun 1985. Sayang, aku nggak sempat menyimak kaset itu ketika kakakku harus buru-buru ke Yogya untuk menyelesaikan kuliahnya. Ternyata di Radio RCT setiap malam minggu ada acara Rolling Stones In Program. Aku dengarkan acaranya walau ramuan musiknya belum nyantol di otakku. Rupanya The Rolling Stones itu band tua yang dibentuk tahun 1963 oleh Jagger dan Richard dan mereka mulai meluncurkan single pertamanya berjudul "Come On" pada tahun 1963. Berarti The Rolling Stones satu angkatan dengan The Beatles dan sudah pasti saingan tetapi bersahabat karena berasal dari Inggris. Anehnya musik The Rolling Stones cenderung beraroma american rock bukan british rock. Berbeda dengan The Beatles, Queen, Led Zeppelin yang masih menunjukkan jati dirinya sebagai band Inggris dengan mengusung sound Inggris yang beraroma klasik dan nyeni. Itulah sebabnya meskipun di rumah akhirnya mengoleksi kaset-kaset The Rolling Stones, tetapi jarang aku dengarkan. Anyway, The Rolling Stones tetap aku anggap sebagai band legendaris yang masih aktif hingga kini.Berikut koleksi kaset-kaset The Rolling Stones punyaku yang masih loncat-loncat (nggak komplet) :The Rolling Stones-The Complate Story 2 (1964), 12 x 5 (1964), Aftermath (1965), Beetween The Butoms (1967), Flowers (1967), The Rolling Stones-The Complate Story 7, Beggars Banquet-CD Album (1968), Sticky Finger (1971), The Rolling Stones-The Complate Story 10, The Rolling Stones-The Complate Story 11, Black & Blue (1975), The Rolling Stones-The Complate Story 13, The Rolling Stones-The Complate Story 15, The Rolling Stones-The Complate Story 17, Undercover (1983), Dirty Work (1986), Steel Whels (1989), Flashpoint(1991), The Rolling Stones Hot Rock 2, The Rolling Stones Rock N Roll (1991), Jump's Back (1991), The Rolling Stones 1971-1983, Stripes (1995), Bridge Of Babylon (1997), The Rolling Stones ....(2005) plus CD MP3 The Rolling Stones. Setelah belajar The Rolling Stones, aku baru tahu kalau The Rolling Stones itu musiknya rock n roll bukan hard rock, aku baru tahu kalau lagu "Angie" yang pernah aku dengar saat masih usia kanak-kanak adalah lagunya The Rolling Stones. Aku juga mulai kenal lagu "I Can't Get No (Satisfaction)" yang mengundang histeria penonton, tetapi ternyata terdengar biasa-biasa saja. Tetapi aku justru tertarik dengan lagu "Paint In Black" yang dibuka dengan petikan sitar India Brian Jones, lagu "She's A Rainbow" yang dibuka dengan denting piano Ian Stewart sepanjang 5 bar dan langsung masuk ke reffrain serta dibumbui oleh suara gesekan cello dan biola dan string orkestra. Intinya lagu-lagu The Rolling Stones yang pas dengan telingaku hanya lagu-lagu zamannya psycadelick di tahun 1960-an. Keep On Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

Ini Pink Floyd Bukan Sakura-nya Fariz RM


INI PINK FLOYD BUKAN SAKURA-NYA FARIZ RM
Pada bulan Februari 1985, teman kakakku, Mas Adam Seno membawa kaset Pink Floyd-Animal (1977) produksi Aquarius - Perina. Isi kasetnya yang putih dan terkesan jadul, langsung dipasang kakakku di tape deck. Pada side A lagu pertama langsung berbunyi suara kibor yang menampilkan melodi etnis klasik Japan dan membawa ingatanku pada intro kibor lagu "Sakura" nya Fariz RM. Ya itulah lagu "Pig" milik Pink Floyd sebagai lagu perkenalan. Rasa ingin tahuku tentang Pink Floyd terus bergelora saat itu juga. Who's Pink Floyd? Bertahun-tahun aku mencari tahu soal Pink Floyd sembari membaca biografinya via majalah musik, tabloid musik, sampai mengumpulkan kaset-kasetnya yang hingga kini belum komplet, akhirnya aku menyimpulkan kalau Pink Floyd itu band asal Inggris. Gila, musiknya memang unik sekali ketika aku mendengarnya. Masing-masing lagu mampu menunjukkan karakter yang berbeda tetapi masih berada pada koridor musik Pink Floyd yang senantiasa menampilkan sound efek nan nglangut. Selain itu Pink Floyd banyak mengumbar corak musik slow bit funk dengan bluess yang kental. Coba simak lagu "Echoes" dari album Middle (1971) yang panjang dan bernuansa blues. Aku suka sekali dengan melodi lagu itu, sampai aku simpan dalam perangkat mini mp3 playerku. Berikut koleksi Pink Floyd yang berhasil aku kumpulkan dari hasil hunting di toko kaset, penjual kaset bekas, dan penjual cd mp3: Umaguma (1969), Middle (1971), The Dark Side On Moon (1973), Wish You Were Here (1975), Animal (1977), The Wall (1980), Final Cut (1983), A Momentary Lapse Of Reason (1988), Pink Floyd ....(1994), Echoes-The Best Of Pink Floyd (2002), CD Mp3 Pink Floyd-Yes, CD Mp3 Pink Floyd, DVD Pink Floyd. Keep On Classick Rock... Nugroho Wahyu Utomo

Senin, 30 Juni 2008

Pertama Kali Mengenal The Beatles



PERTAMA KALI MENGENAL THE BEATLES
SORE hari bulan September 1985, aku mendengar sebuah lagu slow bit funk dengan dentaman bass bernuansa vintage. Lagu itu dinyanyikan secara serempak pada sektor reffrain, tetapi di bagian verse dibawakan oleh seorang vokals yang warna vokalnya terkadang lembut-gahar-bahkan seperti tengah mabuk akibat menegak minuman keras atau drugs. Bunyi lirik lagunya sepertinya simple:...don't let me down/ don't let me down/ don't let me down/ don't let me down... Aku curiga sepertinya lagu itu dibawakan oleh kwartet asal Liverpool Inggris tak lain dan tak bukan adalah The Beatles. "Benarkah ini yang menyanyikan The Beatles?" tanyaku kepada kakakku. Dan kakakku mengangguk. Oh...ini lagunya The Beatles, judulnya "Don't Let Me Down", sebuah lagu single The Beatles yang dirilis ketika mereka tengah menggarap album Get Back (Let It Be) bulan Januari 1969. Konon lagu itu dibawakan mereka secara live di atas atap gedung studio Abbey Road. Kalau aku lihat di DVD Let It Be, sosok para personel The Beatles sudah tidak seperti saat mereka muncul pertama kali tahun 1963 merilis single "Love Me Do" atau "Please Please Me". John Lenon rambutnya gondrong sebahu bahkan melebihi bahu ditambah kacamata nenek bundar yang membentengi kedua matanya. George Harison pun demikian, rambut gondrong sebahu, dan semenjak tertarik belajar trasedental di India ia rajin memelihara kumis. Paul Mc Cartney tampil lebih gemuk dan berewokan serta tentu saja rambut gondrong. Sedangkan Ringo Star juga berambut gondrong awut-awutan plus kumis yang melintas di antara bibir dan hidungnya. Gaya musik mereka jauh lebih progresif dan rumit dibandingkan dengan musik di album Please-Please Me (1963) atau With The Beatles (1963). Bulan September 1963 menjadi telingaku menjadi saksi bisu menangkap kumandang lagu The Beatles pertama : Don't Let Me Down. Sebelumnya aku sudah pernah dengar namanya dari majalah musik, sampai obrolan teman. Ketika SD, aku punya teman yang beatlemania (penggemar The Beatles) namanya Aan (Trihananto Adiyono) dan tinggal di Jalan Kaliurang Yogyakarta. Dia sering olok-olokan denganku soal The Beatles dan Genesis. Aku yang suka Genesis dan Aan yang gandrung The Beatles pada saat kelas VI SD Pangudiluhur Yogyakarta, tiada hari tanpa olok-olokan dua grup band itu. "The Beatles musiknya kampungan...huuuu," kataku. "Genesis penyanyinya botak...," balas Aan. Rupanya ejek mengejek antar dua grup band itu terus berlangsung sampai kelas I SMP, tepatnya di SMP N V Semarang. Seorang teman satu kelas namanya Adian Pakpahan ternyata punya selera musik yang sama dengan Aan. Wajahnya kebetulan mirip George Harison muda ketika The Beatles merilis album Please-Please Me. Di dalam kelas bila pelajaran kosong, kami sering olok-olokan soal musik The Beatles vs Genesis. Sampai akhirnya, Adian meracuni aku dengan The Beatles, caranya dengan meminjami kaset The Beatles-Please-Please Me/ With The Beatles produksi Aquarius (zamannya kaset barat bajakan harga Rp 2000,-). Sebelumnya, aku pernah dipinjami kaset The Best Of The Beatles produksi Kings Record oleh teman satu kelas pula, Andri. Tetapi aku belum ngeh dengan musik The Beatles dari kaset kompilasi itu. Setelah dipinjami kaset The Beatles oleh Adian Pakpahan, akhirnya gendang telingaku mau menerima lagu-lagu The Beatles di kaset itu. Tidak percuma, Adian meminjami aku kaset The Beatles yang merupakan koleksi berharganya, dan mungkin sampai saat ini ia masih menyimpannya. Aku mulai mengenal lagu-lagu The Beatles era awal menjadi band terkenal macam "Please-Please Me", "Twis And Shout", "Anna (Go With Him)", "All My Loving", dan lain-lain. Untuk lebih mendalami soal The Beatles, aku rela nguping lagu-lagu The Beatles yang diputar Radio RCT di gelombang AM 900 Khz setiap sore selama satu jam. Dalam waktu singkat tahun 1986 akhir aku mulai menyukai The Beatles. Tetapi dari mana aku bisa membeli kaset-kasetnya yang jumlahnya 10 item itu? Duit saja aku tak punya untuk beli kaset. Apa akal? Saat ulang tahun ke-14 (11 Agustus 1986) aku minta dihadiahi kaset The Beatles, dan kaset The Beatles Aniversary part 2 produksi Team Record saat itu menjadi kaset The Beatles pertama yang aku miliki. Di dalamnya berisi lagu-lagu The Beatles era psycadelick (1968-1970) macam "Hey Jude", "Back To USSR", "Obladi Oblada", "Oh Darling", "Let It Be", atau "The Long And Winding Road", plus lagu-lagu solo para personel The Beatles macam "Imagine" (John Lenon), "My Love" (Paul Mc Cartney), "My Sweet Lord" (George Harison), atau "Its Allright" (Ringo Star). Sayang kaset tersebut dipinjam oleh teman satu kelasku di kelas II namanya Rahmat dan hingga detik ini belum kembali. Beruntung pada bulan April 1987 temanku satu bangku, Stefanus menjual kaset The Beatles Milion Seller produksi Audio Master dengan harga Rp 2.750,-. Harga kaset sebesar itu masih mahal bagiku. Beruntung aku mengumpulkan uang receh Rp 100,- hingga menggunung menjadi Rp 3.000,- untuk membeli kaset itu. Jumlah lagu-lagunya lebih merata dan banyak mulai dari zaman awal The Beatles sampai mereka bubar jalan (1963-1970). Sayang, kaset tersebut yang pernah disukai teman-temanku di lokasi KKN di Patemon Gunungpati tahun 1997, akhirnya harus berpindah tangan lagi ke tangan teman seorang pemain band. Beruntung aku sudah mengoleksi 1 set kaset The Beatles : Please-Please Me (1963), With The Beatles (1963), A Hard Days Night (1964), Beatles For Sale (1964), Help (1965), Rubber Soul (1965), Revolver (1966), Sgt Peapers Lonely Heart Club Band (1967), Magical Mistery Tour (1967), White Album (double album) (1968), Abbey Road (1969), Let It Be (1970), The Beatles Past Master Vol 1, The Beatles Past Master Vol 2, The Beatles Anthology 1,2,3,4,5,6 (1995-1996), The Beatles Red Album (1993), The Beatles 1 Album (2000), Let It Be-Naked (2003). Selain itu aku juga membeli kaset-kaset The Beatles produksi Team Record tetapi baru mendapat sebagian yaitu The Beatles Complate Story 5, 6, 9, 10. Aku juga melahap bacaan apa saja soal The Beatles. Hingga akhirnya aku menjadi beatlemania (penggemar The Beatles). Ketika aku bekerja di Radio Lusiana Namberwan Semarang tahun 2001-2005, aku ini yang menggarap program acara Lulabe (Lusiana Lagu Beatles) dan mengudara setiap hari Rabu pagi pukul 06.00 s/d 07.00 WIB. Karena saat itu koleksi kaset The Beatles radio terbatas, maka aku memboyong satu set kaset The Beatles ke studio yang berada di Jalan Raung no.7 Semarang itu. Kebetulan banyak yang request lagu-lagu The Beatles. Tetapi masih sebatas lagu-lagu terkenal macam "Yesterday", "Hey Jude", "Michelle", "Let It Be", "And I Love Her", dll. Belum sampai lagu-lagu dengan arransement musik yang berat macam "Strawberry Field Forever", "Golden Slumbers", atau "Revolution". Poster The Beatles juga aku pasang di kamarku yang berukuran 4 x 6 meter (rumah lama di Jalan Let Jen S Parman 66 a Candi Baru Semarang). Saat ini aku tengah mencari CD album The Beatles 1 set . Keep On Classick Rock ...
Nugroho Wahyu Utomo